Berbicara tentang kisah keteladanan
para ulama Salaf dalam ketekunan beribadah, ketaatan dan sifat zuhud, tentu
merupakan pembicaraan yang tidak asing bahkan sangat dikenal di kalangan kaum
muslimin.
Akan tetapi, tahukah kita bahwa
kisah keteladanan dari anggota keluarga mereka juga tidak kalah menariknya dan
sangat patut untuk kita baca serta kita renungkan.
Sebagai bukti bahwa para ulama Salaf
tidak hanya memperhatikan dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri
saja, tapi mereka juga sangat memperhatikan pengajaran dan bimbingan kebaikan
bagi anggota keluarga mereka.
Mereka benar-benar memahami dan
mengamalkan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib, ketika
menafsirkan ayat di atas berkata: “Maknanya: Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu
dan keluargamu”. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak, 2/535)
Juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa
al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga orang yang akan
mendapatkan dua pahala: … dan seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan,
lalu dia mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan mengajarkan (ilmu agama)
kepadanya dengan pengajaran yang baik, kemudian dia memerdekakannya dan
menikahinya, maka dia kan mendapatkan dua pahala”. (HR. Bukhari 97)
Kalau keutamaan ini didapatkan dengan
mengajarkan dan memberikan bimbingan kebaikan kepada seorang budak, maka tentu
saja mengusahakan ini kepada anggota keluarga, anak dan istri, akan
mendatangkan keutamaan yang lebih besar lagi. (Ma’aalimu fi thariiqi
thalabil ‘ilmi, hlm. 132)
Dalam tulisan ini, kami akan
membawakan beberapa kisah keteladanan para keluarga ulama masa silam, bagaimana
mereka memahami dan mengamalkan agama ini. Semoga bisa menjadi motivasi
kebaikan bagi anggota keluarga muslim dalam meniti jalan hidup menuju keridhaan
Allah,
Imam Abu Hanifah pernah mengatakan,
“Kisah-kisah (keteladanan) para
ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai daripada kebanyakan
(masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah
laku mereka (untuk diteladani)”. (Jaami’ bayaanil ‘ilmi wa fadhlih, Ibnu Abdil
Bar, no. 595)
Pertama, Keteladanan keluarga Salaf dalam berkorban di jalan Allah
dan membela kebenaran
Imam adz-Dzahabi menukil kisah
tentang Imam ‘Ashim bin ‘Ali al-Wasithy,
Di zaman fitnah khalqul Qur’an –
pemaksaan aqidah bahwa al-Quran itu makhluk – ketika itu Imam Ahmad bin Hambal
ditangkap dan disiksa oleh penguasa karena beliau mempertahankan aqidah Ahlus
sunnah, bahwa al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk.
‘Ashim bin ‘Ali al-Washithy
berkhutbah di hadapan para ulama Ahlus sunnah lainnya,
“Adakah seorang yang mau berdiri
bersamaku untuk bersama-sama kita datangi orang ini (khalifah al-Ma’mun) dan
menasehatinya?”.
Ketika itu, tidak ada seorangpun
yang memenuhi ajakannya, lalu kemudian Ibrahim bin Abi al-Laits berkata,
“Wahai Ashim bin ‘Ali, aku pulang
dulu menemui anak-anakku untuk memberi wasiat kepada mereka (sebelum pergi
bersamamu)”.
Kemudian Ibrahim bin Abi al-Laits
datang dan berkata kepada kami:
“Aku pulang menemui anak-anakku dan
mereka menangis karena takut aku akan disiksa atau dibunuh”.
Pada waktu itu, datang sepucuk surat
dari dua putri Imam ‘Ashim bin ‘Ali dari kota Wasith, yang isinya,
“Wahai ayah kami, sungguh telah
sampai kepada kami (berita) bahwa orang ini (khalifah al-Ma’mun) telah
menangkap dan menyiksa Imam Ahmad bin Hambal supaya mau mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah makhluk. Karena itu wahai ayah kami, bertakwalah kepada Allah
dan janganlah mengikuti khalifah itu (dalam pendapatnya yang sesat itu). Demi
Allah, sungguh jika datang kepada kami berita tentang kematianmu, ini lebih
kami sukai daripada berita bahwa engkau mengikuti pendapatnya yang sesat.” (Siyaru
A’laamin Nubalaa’, 9/264)
Lihatlah teladan agung dalam
berkorban di jalan Allah dan membela aqidah Ahlus sunnah dalam kisah di atas!
Para keluarga Salaf telah terdidik
untuk mengagungkan dan mengutamakan kebenaran, apalagi yang berhubungan dengan
iman dan keyakinan. Mereka benar-benar memahami makna al-wala’ wal bara’
(loyalitas dan benci karena Allah), meskipun harus berpisah dengan orang yang
paling dia cintai.
Kedua, Keteladanan keluarga Salaf dalam menjauhi sifat rakus
terhadap harta meskipun dalam keadaan miskin dan kekurangan.
Imam Ibnul Jauzi menukil kisah dari
jaman para Salaf, tentang seorang lelaki dari Bagdad yang bernama ‘Abdullah.
Tuan Abdullah akan melakukan ibadah
haji dan membawa titipan uang sepuluh ribu dirham dari pamannya yang berpesan
kepadanya,
“Jika kamu telah sampai di kota
Madinah, maka carilah keluarga yang paling miskin di sana, lalu berikanlah uang
ini kepada mereka (sebagai sedekah)”.
Abdullah bercerita,
Ketika aku telah sampai di Madinah,
maka aku bertanya kepada orang lain tentang keluarga yang paling miskin di
Madinah. Lalu aku ditunjukkan sebuah rumah, maka akupun mendatanginya, kemudian
aku mengetuk pintu dan seorang perempuan dari dalam rumah menjawab ketukanku.
“Siapakah anda”, tanya wanita
penghuni rumah itu.
“Aku seorang yang datang dari
Bagdad, aku dititipkan (uang sebesar) sepuluh ribu dirham dan aku dipesan untuk
menyerahkannya (sebagai sedekah) kepada keluarga yang paling miskin di Madinah,
dan orang-orang telah menceritakan keadaan kalian kepadaku, maka ambillah uang
ini!”. jawab Abdullah.
“Wahai ‘Abdullah, orang yang
menitipkan uang itu kepadamu mensyaratkan keluarga yang paling miskin di
Madinah yang berhak menerimanya, dan keluarga yang tinggal di depan rumah kami
lebih miskin daripada kami, (berikanlah uang itu pada mereka)!” jawab wanita
itu.
Akupun meninggalkan rumah itu dan
mendatangi rumah di depannya, lalu aku mengetuk pintu dan seorang perempuan
(dari dalam rumah) menjawab ketukanku. Kemudian aku katakan padanya seperti
yang aku katakan kepada perempuan yang pertama. Perempuan itu menjawab,
“Wahai ‘Abdullah, kami dan tetangga
kami itu sama-sama miskin, maka bagilah uang itu untuk kami dan mereka”. (Shifatush
shafwah, 2/206)
Allahu akbar,
Mereka benar-benar menjaga diri dari
sifat rakus dan tamak terhadap harta, yang mana sifat inilah menjadikan seorang
manusia selalu berambisi mengumpulkannya meskipun dengan cara yang tidak halal
dan mengambil yang bukan haknya.
Mereka benar-benar memahami sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan
yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan
bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah)
bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu)
sebelum kalian, maka kalianpun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia
sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga
(akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan
mereka”. (HR. Bukhari 2988 dan Muslim 2961)
Akhlak mulia yang mereka miliki ini
juga melahirkan sifat mulia lainnya, yaitu al-iitsaar (mendahulukan
saudara sesama muslim) dan rela berbagi bersamanya, meskipun dia
membutuhkannya.
Ketiga, Keteladanan keluarga Salaf dalam meninggalkan perbuatan
maksiat sejak usia dini
Imam Abu Bakar al-Marwazi bercerita:
“Aku pernah datang ke rumah Imam
Ahmad bin Hambal, ketika itu ada seorang wanita tukang sisir sedang menyisir
rambut anak perempuannya yang masih kecil.
“Apakah kamu menyambung rambutnya
dengan qaraamil (Penyambung rambut dari benang)?” tanyaku.
Spontan wanita tukang sisir itu
mengatakan,
“Anak kecil itu menolak (dengan
keras) dan berkata: Sesunguhnya ayahku melarangku (melakukan itu) dan dia akan
marah jika aku melakukannya.” (Manaqib Imam Ahmad, hlm. 407)
Lihatlah bagaimana pengaruh positif
didikan sang ayah dari anak kecil ini dalam berpegang teguh dengan perintah
Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dan tentu ini tidaklah mengherankan,
karena ayahnya adalah Imam besar Ahlus Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau telah mengajarkan kepada
putri kecilnya ini hadis riwayat ‘Aisyah bahwa Rasulullah melaknat perempuan
yang menyambung rambutnya dan perempuan yang meminta disambung rambutnya.
Keempat, Keteladanan keluarga Salaf dalam menghadiri majelis ilmu
dan mengunjungi orang-orang yang shaleh sejak kecil, untuk meneladani akhlak
mereka.
Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah
kisah dari seorang ulama Salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi. Dari Muqatil
bin Muhammad al-‘Ataki, beliau bercerita,
Aku pernah hadir bersama ayah dan
saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada
ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”
Ayahku menjawab: “Iya”.
Beliau berkata kepada ayahku:
“Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah,
sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”. (Shifatush shafwah, 2/409)
Imam Ibrahim bin Adham mengatkan,
“Ketika aku masih kecil ayahku
berkata kepadaku,
Wahai anakku, tuntutlah ilmu hadis,
setiap kali kamu mendengar sebuah hadis dan menghafalnya maka kamu dapat (uang)
satu dirham”. Maka akupun menuntut ilmu hadis karena motivasi itu”. (Syarafu
ashhabil hadits, hlm. 66)
Imam al-Khathib al-Bagdadi menukil
kisah dari Imam al-A’masy, ketika beliau sedang menyampaikan hadis di hadapan
anak-anak yang masih kecil, maka ada yang bertanya kepada beliau,
“Kamu menyampaikan hadis di hadapan
anak-anak yang masih kecil ini?”.
“Anak-anak yang masih kecil inilah
yang akan menjaga agamamu”. Jawab Imam al-A’masy.
(Syarafu ashhaabil hadits,
hlm. 64)
Renungkanlah kisah di atas,
bagaimana para ulama Salaf membiasakan anggota keluarga mereka, sejak usia
anak-anak, untuk selalu menghadiri majelis ilmu dan kajian-kajian Islam untuk
kebaikan agama mereka, serta bergaul dan mengunjungi orang-orang yang shaleh
dalam rangka meneladani akhlak mulia mereka.
Mereka memahami bahwa jiwa manusia
memiliki kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang
dikaguminya dan selalu dekat dengannya. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Ruh-ruh
(jiwa) manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling
bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan
saling berselisih”. (HR. Bukhari 3158 dan Muslim 2638)
Inilah salah satu di antara tujuan
terbesar Allah menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi dalam banyak ayat
al-Qur’an. Allah berfirman,
وَكُلا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ
فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah para rasul Kami
ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan
dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan
bagi orang-orang yang beriman”
(QS Huud: 120).
Demikianlah, semoga tulisan ini
bermanfaat dan menjadi motivasi kebaikan bagi kita semua.
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Sumber: https://konsultasisyariah.com/28631-teladan-kebaikan-dari-keluarga-ulama.html
Sumber: https://konsultasisyariah.com/28631-teladan-kebaikan-dari-keluarga-ulama.html
No comments:
Post a Comment