Bismillahirrahman Nirrahim.
Semoga Rahmat Allah selaluenyertai kita. Shlawat dadan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw.
Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada kita dalam menjalankan ibadah dan ketaatan.
🍂Merasa Sial Karena Sesuatu?🍂
☘Sahabat, mungkin sahabat pernah mendengar adanya satu keyakinan bahwa jika pada suatu malam terdengar suara burung tertentu (baik gagak, burung hantu, atau yang semisalnya) maka akan terjadi suatu malapetaka yang akan menimpa, atau ketika kejatuhan cicak dianggap sebagai isyarat akan datangnya suatu musibah, atau juga anggapan sial setelah kendaraannya melindas kucing hingga mati, merasa sial dengan angka 13, dan keyakinan-keyakinan sejenis lainnya.
🌴Ketauhilah wahai Sahabat bahwa hal-hal seperti inilah yang disebut dalam Islam dengan istilah "Thiyaroh", yaitu anggapan sial terhadap sesuatu yang dilihat, didengar, atau dialaminya termasuk berkenaan dengan angka, waktu, dan tempat. Menganggap ada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang membawa kesialan.
🌿Thiyaroh ini merupakan sesuatu yang dilarang dalam Islam. Keyakinan semacam ini merupakan perkara yang haram bahkan termasuk kesyirikan dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun berlepas diri dari mereka yang melakukan tathayyur.
🌾Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا
"Thiyarah itu syirik…, Thiyarah itu syirik…, (diulang 3 kali)" (HR. Ahmad, Abu Daud, hadits shahih).
🍃"Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan (dan saya kira juga beliau bersabda) dan yang menyihir atau yang meminta disihirkan”. (HR. Thabrani, lihat Shahihul Jami' No. 5435.)
🌱Perasaan-perasaan tersebut mungkin suatu ketika hinggap di hati-hati kita, maka tidak ada penawar lain kecuali hendaklah kita bertawakkal kepada Allah ta'ala. Inilah penawarnya yang paling ampuh dalam melawan thiyarah ataupun tathoyyur.
🍁Ibnu Masud radliallahu 'anhu berkata,
"Dan tiada seorangpun di antara kita kecuali telah terjadi dalam jiwanya sesuatu dari hal ini, hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya)”. (Diriwayatkan Abu Daud No. 3910, dalam silsilah shahihah No. 430)
👍 Sebarkan jika Anda menyukai tulisan ini, insya Alloh pahala besar menanti Anda
Kumpulan artikel - artikel khutbah jum'at dan juga nasehat - nasehat islami serta konsultasi syariah.
Monday, December 5, 2016
Wednesday, November 30, 2016
Kisah Hikmah
الوسطية والاعتدال:
🇮🇳🇸🇵🇮🇷🇦🇸🇮
ــــــ ❉ ❉ ❉ ❉ ❉ ــــــ
*BELAJAR DARI AKHLAQ SALAF*
كان إبراهيم النخعي رحمه الله أعور العين
وكان تلميذه سليمان بن مهران رحمه الله أعمش العين ( يعني ضعيف البصر ) ..
*Adalah Ibrahim an-Nakho'i _rahimahullâhu_ seorang pria yang buta, sedangkan murid beliau, Sulaiman bin Mihrân (yang dikenal dengan al-A'masy) _rahimahullâhu_ adalah seorang yang rabun matanya, yaitu _low vision_ (penglihatan lemah)*
وقد روى عنهما ابن الجوزي رحمه الله في كتابه (المنتظم) ..
Ibnul Jauzi _rahimahullâhu_ pernah mengisahkan tentang mereka berdua di dalam buku beliau, *al-Muntazham*...
أنهما سارا في أحدى طرقات الكوفه يريدان الجامع
🌤 Suatu ketika, Imam an-Nakho'i dan al-A'masy sedang berjalan di salah satu jalanan Kufah untuk bertemu...
وبينما هما يسيران في الطريق، قال الإمام النخعي :
Ketika mereka berdua sedang berjalan bersama di satu jalan, Imam an-Nakho'i berkata :
ياسليمان هل لك أن تأخذ طريقاً وأخذ آخر فإني أخشى إن مررنا سوياً بسفهائها ، ليقولون أعور ويقود أعمش فيغتابوننا ويأثمون.
_Wahai Sulaiman, bagaimana kalau Anda mengambil jalan sendiri dan saya mengambil jalan lain. Karena saya khawatir kalo kita berjalan bersama, orang-orang pandir akan mengatakan, "orang buta dituntun oleh orang yang rabun", sehingga mereka menggunjing kita dan mereka pun berdosa._
فقال الأعمش : يا أبا عمران ؛ وما عليك أن نؤجر ويأثمون !
Al-A'masy menjawab : _Wahai Abu 'Imrân, bukankah kita akan mendapat pahala (lantaran gunjingan mereka, pent) dan merekalah yang berdosa_
فقال إبراهيم النخعي : يا سبحان الله ! بل نسلم ويسلمون خير من أن نؤجر ويأثمون 🌷
Ibrahim an-Nakho'i pun menjawab : _Subhanallah, bahkan dengan kita selamat (dari gunjingan) dan mereka pun juga selamat (dari dosa) adalah lebih baik daripada kita mendapat pahala namun mereka berbuat dosa._
•┈┈┈••✦🔹✦••┈┈┈•
*نسلم ويسلمون خير من أن نؤجر ويأثمون*
*_kita selamat (dari gunjingan) dan mereka pun juga selamat (dari dosa) adalah lebih baik daripada kita mendapat pahala namun mereka berbuat dosa._*
إنها قلوب تزينت بالإيمان حتى حلقت في السماء لتصل بأصحابها إلى أعالي الجنان !
Sesungguhnya inilah hati yang berhiaskan keimanan, yang bisa mengantarkan pemilik hati ini melayang tinggi sampai ke surga tertinggi!
🌹 اللهم اجعلنا منهم ...اللهم زينا بزينة اخلاقهم ....
Ya Allah, Jadikanlah kami seperti mereka... Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan akhlak mereka...
📎 Dishare oleh Syaikh Abdul Karim al-Jaza'iri di grup Majmu'ah Du'at Jabodetabek
✏ @abinyasalma
Sumber : group Wa fiqh ad iyah.
Tuesday, November 29, 2016
Bergembira dengan kebakaran israel

Jika kita merasa gembira dengan musibah kebakaran yang menimpa israel, apakah diperbolehkan?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Keberadaan orang kafir, terutama orang yahudi di zaman kita, adalah penyakit bagi dunia seisinya. Persis seperti keberadaan ahoax dan para kroninya merupakan penyakit bagi Indonesia seisinya. Mereka musuh Allah dan musuh umat manusia.
Karena itu, bergembira dengan kematian mereka, kehancuran mereka dan termasuk dengan musibah yang menimpa mereka, termasuk bagian dari rasa syukur atas nikmat Allah bagi manusia. Karena bumi dan seisinya, baik manusia, binatang, termasuk pepohonan, bisa beristirahat dari kejahatan mereka.
Pertama, Allah menyebut kekalahan orang kafir sebagai nikmat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحاً وَجُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيراً
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara (kafir), lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Ahzab: 9)
Ketika perang khandaq, kaum muslimin di Madinah diserang oleh pasukan multi suku. Mereka tidak bisa masuk ke kota Madinah, karena tertahan khandaq (parit). Mereka membuat kemah di depan pintu kota Madinah. Di saat itulah, Allah mengirim angit dan hujan lebat, sementara mereka tidak punya persiapan untuk menghadapi kondisi itu. Dan merekapun pergi dengan membawa kekalahan dan kerugian.
Kedua, kekalahan dan musibah orang kafir, akan menghalangi mereka tidak melakukan kejahatan di bumi
Kejahatan kemanusiaan luar biasa telah dilakukan orang yahudi. Ketika mereka mengalami kebakaran, setidaknya menjadi balasan atas kedzaliman mereka dan menahan mereka untuk bertindak jahat.
Sahabat Abu Qatadah ar-Rib’i radhiyallahu ‘anhu bercerita,
Suatu ketika ada jenazah yang lewat, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar,
مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ
“Orang yang beristirahat dan orang yang diistirahatkan…”
Para sahabat bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ؟
Ya Rasulullah, siapa itu orang yang beristirahat dan orang yang diistirahatkan…?
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ ، وَالْبِلَادُ ، وَالشَّجَر، وَالدَّوَابُّ
Hamba mukmin yang baik, dia beristirahat dari kelelahan ketika di dunia. Sementara hamba yang fasik, para hamba yang lain bisa beristirahat dari kejahatannya, termasuk negara, pepohonan, dan binatang. (HR. Bukhari 6147 & Muslim 950).
An-Nawawi mengatakan,
أن الموتى قسمان : مستريح ومستراح منه ، ونصب الدنيا : تعبها ، وأما استراحة العباد من الفاجر معناه : اندفاع أذاه عنهم
Orang yang mati itu ada 2: orang yang istirahat dan yang diistirahatkan. Kelelahan dunia adalah musibah dunia. Istirahatnya masyarakat dari orang fasik maknanya adalah masyarakat terlindungi dari kejahatannya… (Syarh Shahih Muslim, 7/20)
Pengaruh buruk keberadaan orang kafir juga dirasakan oleh makhluk yang tidak berakal, bahkan makhluk yang tidak bernyawa. Karena kemaksiatan dan kejahatan yang mereka lakukan, merupakan sebab Allah tidak akan memberikan keberhakan bagi penduduk bumi, termasuk diantaranya Allah tidak memberi hujan.
Ketiga, ketika Fir’aun dan tentaranya ditenggelamkan oleh Allah, Musa dan kaum muslimin di kalangan Bani Israil merasa sangat gembira. Hingga mereka berpuasa sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyuraa’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Hari apa ini?”
Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab,
“Ini adalah hari yang agung, pada hari itu Allah menyelamatkan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada parra sahabat,
أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا
“Kalian lebih berhak terhadap Musa dibandingkan mereka, maka berpuasalah.” (HR. Bukhari 4680)
Keempat, ketika Ali bin Abi Thalib berhasil mengalahkan pasukan khawarij, beliau sujud syukur ketika melihat mayat al-Mukhaddaj. Karena dia gembong khawarij. (Majmu’ Fatawa, 20/395)
Kelima, ketika tokoh mu’tazilah Ibnu Abi Duad terkena stroke, kaum muslimin ahlus sunah sangat bergembira. Hingga Ibnu Syura’ah al-Bashri menyenandungkan syair menyambut sakitnya.
Al-Khalal menceritakan,
Imam Ahmad ditanya, ‘Jika orang bergembira dengan musibah yang menimpa Ibnu Abi Duad, apakah dia berdosa?’
Jawab Imam Ahmad,
ومن لا يفرح بهذا؟
“Siapa yang tidak senang dengan kabar gembira ini?” (as-Sunnah, 5/121)
Keenam, Ibnu Katsir bercerita tentang tokoh Syiah yang meninggal tahun 568 H. dialah al-Hasan bin Shafi at-Turki. Termasuk pembesar kota Baghdad, penganut Rafidhah ekstrim. Dia meninggal bulan Dzulhijjah 568 H. kata Ibnu Katsir,
وحين مات فرح أهل السنة بموته فرحاً شديداً ، وأظهروا الشكر لله ، فلا تجد أحداً منهم إلا يحمد الله
Ketika dia mati, ahlus sunah sangat bergembira menyambut kematiannya, dan mereka menampakkan syukur kepada Allah. sehingga tidak dijumpai seorang-pun ahlus sunah, kecuali mereka memuji Allah. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/338)
Ini hanya sebagian hukuman yang Allah berikan untuk orang yahudi karena kejahatannya terhadap kaum muslimin dan rayat palestin. Kejadian terakhir, mereka membakar seorang anak Palestin Muhammad ad-Dawabisyah dengan menyiramkan bensin ke mulutnya. Dan beberapa hari sebelumnya mereka membuat keputusan pelarangan adzan di Masjidil Aqsha.
Semoga Allah memberikan yang terbaik bagi kaum muslimin…
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Sumber: https://konsultasisyariah.com/28680-bergembira-dengan-kebakaran-di-israel.html
Sunday, November 27, 2016
Hukum makan dan minum di kamar mandi

Pertanyaan:
Yang saya ketahui, bahwa makan di kamar mandi adalah haram. Akan tetapi ketika saya beritahu seorang teman masalah tersebut, dia tertawa dan berkata bahwa saya salah. Siapakah yang benar?
Jawab:
Alhamdulillah, wa shalatu wa salamu ala rasulillah. Amma ba'du.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Kamar mandi dibuat untuk buang hajat, bukan untuk makan dan minum. Tidak selayaknya seorang muslim masuk ke dalamnya kecuali untuk buang hajat. Apabila dia sudah masuk, hendaknya dia jangan makan dan minum.
Jika dengan sengaja dia makan dan minum di dalam kamar mandi tanpa ada kebutuhan mendesak, sungguh dia telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan firrah yang lurus.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang makan dan minum di kamar mandi?
Beliau menjawab, "Kamar mandi adalah tempat buang hajat saja. Tidak selayaknya seseorang berada di dalamnya kecuali sebatas kebutuhan. Melakukan perbuatan makan atau lainnya yang menyebabkannya berlama-lama di dalamnya tidak layak." (Majmu Fatawa, 11/110).
Wallahua'lam.
Sumber : islamhouse.com
Saturday, November 26, 2016
Hukum Menjama' shalat karena hujan
Apa patokan atau standar boleh menjamak shalat ketika hujan? Menjamak shalat artinya menggabungkan dua shalat di salah satu waktunya.

Kita sudah ketahui bersama bahwa di antara keringanan saat turun hujan adalah jama’ah masjid diperbolehkan menjamak shalat. Inilah di antara kemudahan syari’at Islam bagi umatnya. Namun sebagian orang terlihat begitu menggampang-gampangkan menjamak shalat kala itu. Padahal hujan yang turun tidak deras atau tidak membuat kesulitan untuk beraktifitas.
Dalil Dibolehkannya Menjamak Shalat Saat Hujan
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jamak shalat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bukan karena sebab ini dan sebab itu. Oleh karenanya Imam Ahmad berdalil bolehnya menjamak shalat karena beberapa sebab tersebut karena jika dalam keadaan genting atau hujan atau safar saja dibolehkan jamak, maka lebih-lebih lagi ada sebab itu. Jadi, jamak karena sebab-sebab tadi lebih pantas ada karena sebab lainnya. Walaupun dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan jamak karena hujan, namun jika dipahami jamak karena hujan lebih-lebih dibolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 76.
Hisam bin Urwah mengatakan,
أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Atsar semisal ini menunjukkan bahwa jamak ketika turun hujan adalah telah diamalkan sejak dulu di Madinah pada masa sahabat dan tabi’in. Dan tidak dinukil bahwa seorang sahabat dan tabi’in mengingkarinya. Dan bisa dipahami bahwa sebenarnya hal itu sudah mutawatir (dinukil dengan riwayat yang banyak).” (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 83).
Dalil-dalil lainnya sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya di Rumaysho.com: Keringan Ketika Turun Hujan: Dibolehkan Menjamak Shalat
Patokan Bolehnya Menjamak Shalat Ketika Hujan
Dalam Al Mughni disebutkan, ”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.” Lihat Al Mughni, 2: 117.
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafi’i dan Imam Nawawi.
Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah. Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 206-207.
Guru kami, Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Turkiy Al Khotslan ditanya, “Ketika turun hujan, kami lihat banyak perbedaan dalam memandang bolehnya menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya’ di berbagai masjid. Apa yang bisa menjadi patokan untuk menjamak dua shalat ketika turun hujan?”
Beliau hafizhohullah menjawab, “Tidaklah disyari’atkan untuk menjamak shalat Zhuhur-Ashar dan Maghrib-‘Isya’ kecuali jika ada kesulitan. Karena pernah terjadi hujan, namun tidak menjamak shalat. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diadakan istisqo’ (minta hujan) ketika khutbah Jum’at, lantas turunlah hujan selama seminggu. Namun tidak didapati bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat selama seminggu penuh.
Tanda kesulitan yang membolehkan menjamak adalah turunnya hujan sampai membuat orang-orang sedikit beraktivitas, sedikitnya mobil yang bergerak di jalan-jalan, sampai-sampai sebagian toko menutup dagangannya dan semacam itu.”
[Sumber fatwa: http://www.saad-alkthlan.com/text-814]
Wallahu waliyyut taufiq.
—
@ Maktabah Al Amir Salman, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 17 Shafar 1434 H
www.rumaysho.com

Kita sudah ketahui bersama bahwa di antara keringanan saat turun hujan adalah jama’ah masjid diperbolehkan menjamak shalat. Inilah di antara kemudahan syari’at Islam bagi umatnya. Namun sebagian orang terlihat begitu menggampang-gampangkan menjamak shalat kala itu. Padahal hujan yang turun tidak deras atau tidak membuat kesulitan untuk beraktifitas.
Dalil Dibolehkannya Menjamak Shalat Saat Hujan
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jamak shalat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bukan karena sebab ini dan sebab itu. Oleh karenanya Imam Ahmad berdalil bolehnya menjamak shalat karena beberapa sebab tersebut karena jika dalam keadaan genting atau hujan atau safar saja dibolehkan jamak, maka lebih-lebih lagi ada sebab itu. Jadi, jamak karena sebab-sebab tadi lebih pantas ada karena sebab lainnya. Walaupun dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan jamak karena hujan, namun jika dipahami jamak karena hujan lebih-lebih dibolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 76.
Hisam bin Urwah mengatakan,
أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Atsar semisal ini menunjukkan bahwa jamak ketika turun hujan adalah telah diamalkan sejak dulu di Madinah pada masa sahabat dan tabi’in. Dan tidak dinukil bahwa seorang sahabat dan tabi’in mengingkarinya. Dan bisa dipahami bahwa sebenarnya hal itu sudah mutawatir (dinukil dengan riwayat yang banyak).” (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 83).
Dalil-dalil lainnya sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya di Rumaysho.com: Keringan Ketika Turun Hujan: Dibolehkan Menjamak Shalat
Patokan Bolehnya Menjamak Shalat Ketika Hujan
Dalam Al Mughni disebutkan, ”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.” Lihat Al Mughni, 2: 117.
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafi’i dan Imam Nawawi.
Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah. Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 206-207.
Guru kami, Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Turkiy Al Khotslan ditanya, “Ketika turun hujan, kami lihat banyak perbedaan dalam memandang bolehnya menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya’ di berbagai masjid. Apa yang bisa menjadi patokan untuk menjamak dua shalat ketika turun hujan?”
Beliau hafizhohullah menjawab, “Tidaklah disyari’atkan untuk menjamak shalat Zhuhur-Ashar dan Maghrib-‘Isya’ kecuali jika ada kesulitan. Karena pernah terjadi hujan, namun tidak menjamak shalat. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diadakan istisqo’ (minta hujan) ketika khutbah Jum’at, lantas turunlah hujan selama seminggu. Namun tidak didapati bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat selama seminggu penuh.
Tanda kesulitan yang membolehkan menjamak adalah turunnya hujan sampai membuat orang-orang sedikit beraktivitas, sedikitnya mobil yang bergerak di jalan-jalan, sampai-sampai sebagian toko menutup dagangannya dan semacam itu.”
[Sumber fatwa: http://www.saad-alkthlan.com/text-814]
Wallahu waliyyut taufiq.
—
@ Maktabah Al Amir Salman, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 17 Shafar 1434 H
www.rumaysho.com
Friday, November 25, 2016
Membunuh binatang yang sekarat.
Rasa kasihan ketika melihat makhluk Allah (binatang) yang terkena musibah seperti tertabrak motor atau yg lainnya yang melukai makhluk Allah (binatang) tersebut.
Terkadang ada diantara kita yang berinisiatif untuk menyudahi rasa sakit yg di deritanya dengan membunuhnya.
Apakah hal ini sudah benar?
Berikut kami sampaikan informasinya.
Semoga bermanfaat.
Pertanyaan:
Jika ada hewan yang sekarat di jalan, karena kecelakaan atau yang lainnya, bolehkah kita membunuhnya. Karena jika dibiarkan, dia akan merasakan penderitaan sakit yang lama?
Jawaban:
Keterangan Imam Ibnu Utsaimin:
لا يجوز الإجهاز عليها، إذا رأيت شيئاً مريضاً من الحيوانات فدعه؛ لأنه ليس من مسئوليتك، فربما يشفى بإذن الله…….
“Tidak boleh membunuh hewan itu. Jika anda melihat binatang yang sakit, biarkan dia (jangan dibunuh), karena itu bukan bagian dari tanggung jawabmu. Bisa jadi dia sembuh dengan izin Allah…”
[Liqa-at Bab Al-Maftuh, volume 2, no.17]
Oleh ustadz Ammi Nur Baits
Sumber: https://konsultasisyariah.com/13484-hukum-membunuh-binatang-yang-sekarat.html
Terkadang ada diantara kita yang berinisiatif untuk menyudahi rasa sakit yg di deritanya dengan membunuhnya.
Apakah hal ini sudah benar?
Berikut kami sampaikan informasinya.
Semoga bermanfaat.

Pertanyaan:
Jika ada hewan yang sekarat di jalan, karena kecelakaan atau yang lainnya, bolehkah kita membunuhnya. Karena jika dibiarkan, dia akan merasakan penderitaan sakit yang lama?
Jawaban:
Keterangan Imam Ibnu Utsaimin:
لا يجوز الإجهاز عليها، إذا رأيت شيئاً مريضاً من الحيوانات فدعه؛ لأنه ليس من مسئوليتك، فربما يشفى بإذن الله…….
“Tidak boleh membunuh hewan itu. Jika anda melihat binatang yang sakit, biarkan dia (jangan dibunuh), karena itu bukan bagian dari tanggung jawabmu. Bisa jadi dia sembuh dengan izin Allah…”
[Liqa-at Bab Al-Maftuh, volume 2, no.17]
Oleh ustadz Ammi Nur Baits
Wednesday, November 23, 2016
Hukum Makan Dengan Tangan Kiri
Tanya tadz, apa hukum makan dengan
tangan kiri? Apakah sampai haram? Terima kasih
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada kebiasaan unik di masyarakat
kita. Kita sering melihat, para orang tua mengajari anaknya untuk melakukan
yang paling ideal sesuai aturan syariat. Ketika makan dengan tangan kiri,
mereka diingatkan. Ketika makan sambil berlari, mereka diingatkan. Memegang
rokok, dilarang. Ketika TPA, mereka berbusana muslimah, meskipun yang mengantar
berbusana ‘tidak muslimah’, padahal ibunya agamanya islam. dst.
Kita ajari anak kita untuk selalu
sesuai syariat, sementara orang tuanya terkadang merasa longgar untuk melanggar
syariat. Padahal anak yang belum baligh tidak berdosa.
Hukum
Makan dengan Tangan Kiri
Terdapat banyak hadis yang
menunjukkan larangan makan dengan tangan kiri,
Pertama, Ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Umar bin Abi Salamah radhiyallahu
‘anhuma, ketika beliau masih kecil pernah makan dengan kedua tangannya –
kanan-kiri. Kemudian diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا
يَلِيكَ
“Wahai anakku, sebutlah nama Allah,
dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah yang ada di hadapanmu.” (HR. Bukhari 5376 & Muslim 2022)
Kedua, meniru cara makannya setan
Menyerupai setan hukumnya dilarang.
Karena setan itu musuh, bukan kawan. Sehingga jangan diikuti. Dan meniru
kebiasaan setan termasuk mengikuti langkah setan.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا
شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ
وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Apabila kalian makan, maka hendaknya
makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaknya juga minum dengan
tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya.” (HR. Muslim 2020, Abu Daud 3778 dan
yang lainnya).
As-Shan’ani menjelaskan hadis Umar
bin Abi Salamah,
وفي الحديث دليل على وجوب الأكل باليمين للأمر به أيضا ويزيده
تأكيدا أنه صلى الله عليه وسلم أخبر بأن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله وفعل
الشيطان يحرم على الإنسان
Dalam hadis di atas terdapat dalil
wajibnya makan dengan tangan kanan, karena ada perintah untuk melakukannya. Hal
ini diperkuat lagi, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan bahwa setan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kiri.
Sementara perbuatan setan, haram untuk dilakukan manusia. (Subulus Salam,
3/159)
Ketiga, didoakan keburukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Salamah bin al-Akwa’ bercerita,
Ada seseorang laki makan di samping
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu
Rasulullah bersabda,
كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ
إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
“Makanlah dengan tangan kananmu!”
Dia malah menjawab, ‘Aku tidak
bisa.’
Beliau bersabda, ‘Benar kamu tidak
bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa
diangkat sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim 2021)
Ada 2 peringatan yang disampaikan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas,
[1] Perintah untuk makan
dengan tangan kanan
[2] Doa buruk karena dia tidak
segara melaksanakan perintah dengan alasan tidak bisa.
As-Shan’ani mengatakan,
ولا يدعو صلى الله عليه وسلم إلا على من ترك الواجب وأما كون
الدعاء لتكبره فهو محتمل أيضا ولا ينافي أن الدعاء عليه للأمرين معا
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan kecuali untuk orang yang
meninggalkan kewajiban. Jika doa itu karena alasan orang itu bersikap sombong,
memang ada kemungkinan demikian. Dan tidak jauh jika kita pahami bahwa doa itu
karena kedua alasan tersebut. (Subulus Salam, 3/159).
Mulai biasakan makan dengan tangan
kanan, dan tinggalkan makan dengan tangan kiri…
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur
Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Hukum Shalat Jumat di Jalan Raya

Maaf Ustad, bagaimana hukum jumatan
di jalan? Krn ada yang mengatakan, jumatan di jalan hukumnya tidak sah. Apa
benar?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala
Rasulillah, wa ba’du,
Mayoritas ulama (hanafiyah,
syafiiyah, dan hambali) berpendapat, jumatan tidak harus dilakukan masjid.
Jumatan boleh dilakukan di luar masjid, termasuk di jalanan. Hanya saja,
Syafi’iyah mempersyaratkan, harus dilakukan di dalam kota atau di dalam
kampung, yang kanan-kirinya ada bangunan. Dan tidak boleh dilakukan di tanah
lapang di luar kampung, seperti shalat ‘id di lapangan.
Zainudin Al-Iraqi – ulama Syafiiyah
– (w. 806 H) mengatakan,
مذهبنا أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص
بالمسجد ، بل تقام في خِطة الأبنية ؛ فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصلّ الداخل إلى
ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية
“Madzhab kami (madzhab Syafiiyah),
pelaksanaan shalat jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di
semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di
selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalat jumat itu
ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalat
tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk
dilaksanakan tahiyatul masjid. (Tharh At-Tatsrib, 4/90).
Sementara dalam madzhab Hambali,
jumatan bisa dilaksanakan di manapun, termasuk di lapangan sebagaimana shalat
‘id.
Al-Mardawi – ulama hambali – (w. 885
H) mengatakan,
قوله: ( ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة ,
إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) وهو المذهب مطلقا . وعليه
أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم . وقيل : لا يجوز إقامتها إلا في الجامع
Keterangan penulis: “Boleh
mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika
wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang
dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab hambali, dan pendapat yang
dipilih mayoritas ulama hambali. Ada juga yang mengatakan, ‘Tidak boleh
mengadakan shalat jumat kecuali di masjid jami’.’ (Al-Inshaf, 4/23)
Ibnu Qudamah menjelaskan,
ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان ، و يجوز إقامتها
فيما قاربه من الصحراء ، و بهذا قال أبو حنيفة
Bukan termasuk syarat sah jumatan
harus dilakukan di antara bangunan. Boleh juga dilaksanakan di tanah lapang
yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. (al-Mughni,
2/171)
Berbeda dengan madzhab Malikiyah.
Mereka mempersyaratkan bahwa jumatan harus dilakukan di masjid jami’.
Dalam At-Taj wal Iklil – kitab
madzhab Maliki – disebutkan beberapa pendapat ulama Malikiyah,
ابْنُ بَشِيرٍ : الْجَامِعُ مِنْ شُرُوطِ الْأَدَاءِ
Ibnu Basyir mengatakan, “Masjid
jami’ merupakan syarat pelaksanaan shalat jumat.”
Ibnu Rusyd mengatakan,
‘Tidak sah pelaksanaan shalat jumat di selain
masjid (yang ada bangunannya).’ Sementara Al-Baji mengatakan, ‘Diantara syarat
masjid adalah adanya bangunan khusus dengan model masjid. Jika atapnya hancur
maka diganti shalat dzuhur 4 rakaat.’ (At-Taj wal Iklil, 2/237)
Dan pendapaat yang lebih mendekati
dalam hal ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. jumatan tidak harus
dilakukan di masjid. Sehingga jumatan yang dilaksanakan di jalan, dikelilingi
dengan gedung-gedung di sekitarnya, sah menurut pendapat mayoritas ulama.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur
Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Mengapa Istighfar Setelah Shalat?
Allah Ta’ala menciptakan kita
untuk tujuan agar kita beribadah. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. ad-Dzariyat: 56)
Ada banyak bentuk ibadah yang Allah
perintahkan kepada kita. Dan kita sangat yakin, ketika kita melaksanakan sekian
banyak ibadah itu, masih banyak kekurangan dan kesalahan. Inilah yang menjadi
alasan terbesar, mengapa kita memohon ampun kepada Allah, seusai ibadah. Minta
ampun karena kita menyadari, ibadah yang kita lakukan barangkali tidak sesuai
yang dikehendaki oleh Allah. Menyadari adanya banyak kekurangan dari ibadah
yang kita lakukan.
Karena itulah, terdapat banyak
perintah baik dalam al-Quran maupun hadis, agar kita mengakhiri amal kita
dengan istighfar. Diantarannya,
Pertama, seusai shalat tahajud, agar diakhiri dengan istighfar di
waktu sahur
Allah berfirman,
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“Dan mereka yang rajin istighfar di
waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17)
Allah juga berfirman di akhir surat
al-Muzammil, yang membahas masalah tahajud,
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ
اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ…
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui
bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al Quran.
Di akhir ayat, Allah mengatakan,
وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan mohonlah ampunan kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Muzammil: 20)
Kedua, seusai haji
Allah perintahkan agar di penghujung
pelaksanaan haji, kaum muslimin banyak beristighfar,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ
الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ
قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198) ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ
وَاسْتَغْفِرُوا…
Apabila kamu telah bertolak dari
‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril-haram. Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah
kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun
kepada Allah; (QS. al-Baqarah: 198 – 199)
Ketiga, selesai tugas kenabian
Sebagian ulama tafsir menyebutkan,
surat terakhir yang Allah turunkan untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah adalah surat an-Nashr. Di dalam surat ini, Allah perintahkan
agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk banyak bertasbih, memuji
Allah, dan banyak beristighfar.
Artinya, turunnya surat an-Nashr
merupakan tanda akhir tugas kenabian beliau. Dan Allah perintahkan agar beliau
banyak beristighfar,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ
النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ
رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Apabila telah datang pertolongan
Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. an-Nashr: 1 – 3)
Dan kata Aisyah radhiyallahu
‘anha, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima surat
ini, ketika rukuk dan sujud, beliau membaca doa,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِى
SUBHANAKALLAHUMMA RABBANAA WA
BIHAMDIKA, ALLAHUMMAGHFIR-LII
(HR. Bukhari 794 & Muslim 1113)
Mengapa
Istighfar Setelah Shalat?
Dari penjelasan di atas, kita bisa
memahami, mengapa kita harus beristighfar setelah shalat. Bukankah shalat itu
ibadah? Mengapa kita istighfar sesuai ibadah?
Karena kita sangat yakin, dalam
ibadah shalat yang kita lakukan sangat rentan dengan kekurangan. Dan kita mohon
ampun atas semua kekurangan yang kita lakukan ketika shalat. Hadirkan perasaan
semacam ini ketika anda membaca istighfar setelah shalat. Agar ucapan istighfar
kita lebih berarti.
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu,
beliau menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا انْصَرَفَ
مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika selesai shalat, beliau membaca istighfar 3 kali.
Kemudian membaca,
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ
ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Allahumma antas salam wa minkas
salam tabarakta dzal jalali wal ikram
(HR. Muslim 1362 & Nasai 1345).
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya
tentang kaitan bacaan istighfar setelah shalat?
Jawaban beliau,
المناسبة ظاهرة أي إنسان تخلو صلاته من خلل يمكن الإنسان ينفتح
عليه باب الوسواس والهواجيس يمكن يقصر في الركوع أو في السجود أو في القيام أو في
القعود فالصلاة لا تخلو من خلل فناسب أن يبادر بالاستغفار من بعد السلام مباشرة ليمحو
الله بهذا الاستغفار ما كان من خلل في صلاته
Keterkaitannya sangat jelas. Bahwa
manusia ketika shalat tidak akan lepas dari kekurangan. Ketika shalat muncul
was-was, gangguang-gangguan, atau rukuk sujudnya tidak sempurna. Atau ketika
berdiri, atau duduk. Dalam shalat, tidak lepas dari kekurangan. Sehingga layak
untuk langsung membaca istighfar setelah salam. Agar Allah menghapus kesalahan
yang kita lakukan ketika shalat dengan bacaan istighfar kita.
Sumber:
Demikian, Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Subscribe to:
Posts (Atom)