Monday, January 29, 2018

tata cara sholat gerhana

bismillahirahmanirrahim.
alhamdulillah, wa sholatu wa salamu ala rosulillah. amma ba'du:

in syaa Allah disini akan kita paparkan bagaimana tatacara shalat gerhana.

shalat gerhana atau yang sering dikenal dengan dhalat khusuf adalah merupakan malaiah sunnah yang muali di tinggalkan dewasa ini, padahal amalan ini senantiasa dilakukan oleh rosulullah shalallahhu alaihi wa salam.
karena jarangnya amaliah ini dikerjakan, maka tidak jarang banyak sekali orang yang bingung dalam mengamalkannya, mereka saling bertanya-tanya bagaimana sih cara melakukan shalat gerhana bulan (khusuf) itu.
nah, mari kita simak penjelasan ringkasnya,

 Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. dan pada setiap rakaat terdapat dua kali rukuk dan dua kali sujud, artinya selepas membaca surat pada rakaat pertama kemudian kita rukuk dan ketika kita i'tidal mengucapkan sami allahu liman hamidah  robbana wa lakal hamdu, maka selepas itu kita tidak lantas sujud, melainkan kita membaca al-fatihah kembali dan kemudian membaca surat (dianjurkan memanjangkan bacaan suratnya)

adapun urutannya sebagai berikut
1. niat
2. takbiratul ihram
3. membaca doa iftitah dan taawudz
4. membaca al-fatihah
5. membaca surat yang panjang dan dikeraskan
6. ruku (dianjurkan untuk melamakan ruku nya)
7. I'tidal sambil mengucapkan doa sami'Allahu liman hamidah, robbana wa lakal hamd.
8. tidak langsung sujud, melainkan membaca al-fatihah kembali seperti di awal.
9. membaca surat yang lebih singkat dari yang sebelumnya
10. ruku (lebih singkat dari yang sebelumnya)
11. bangkit dari ruku membaca doa itidal
12 Sujud yang lamanya seperti rukuk
13. Duduk diantara dua sujud dan kemudian sujud kembali
14. bangkit dari sujud dan melakukan kembali rokaat kedua sebagaimana di rokaat pertama
15. Tasyahud
16 Salam
17. Selepas salam meka dibacakan khutbah kepada para jamaah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdoa dan memperbanyak istighfar.

Nah inilah gambaran singkat, bagaimana tatacara melaksanakan sholat gerhana bulan (khusuf).
semoga bermanfaat,.

Thursday, January 18, 2018

Memahami dan menyikapi perbedaan secara islami

Memahami dan Menyikapi Perbedaan Secara Islami*)

Oleh: Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA. (Ketua Umum Wahdah Islamiyyah)

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Dalam bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama.Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Sikap Toleran terhadap Perbedaan Pendapat

Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata’ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Medinah itu,  orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Khilafiyah dalam Masalah Furu’iyah

Penting untuk segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah belaka. Atau dalam istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf as sa’igh al maqbul.

Contoh-contoh al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu’; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat ‘ied, dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.

Adapun al khilaf as sa’igh al maqbul,  ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang dikenal ulama.

Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan  contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.

Muhammad bin Husain al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya memperoleh yudisium summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami terhadap masalah ijtihad sebagai berikut:

1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang berselisih paham;

2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;

3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;

4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.

Namun demikian, patut ditambahkan pula bahwa kendati saling menghormati perbedaan pendapat, ulama-ulama itu tetap sepakat tentang kewajiban untuk selalu merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits.

Imam Abu Hanifah menegaskan, “Bila satu hadits dalam satu permasalahan telah shahih, kandungan hadits itulah mazhabku.” Ia juga mengungkapkan, “Tidak halal bagi siapapun untuk menganut pendapat kami bila dia tidak tahu dasar pengambilannya.”

Imam Malik tidak kalah tegasnya. “Aku ini hanyalah manusia biasa,” tukas Malik, “yang bisa benar dan bisa salah. Maka pertimbangkanlah pendapat-pendapatku. Pendapat yang sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkan.”

“Setiap masalah yang terdapat Hadits Nabi yang shahih di dalamnya, sesuai dengan pendapat ulama Hadits; yang berlawanan dengan pendapatku, aku ruju’ (kepada Hadits dan meninggalkan pendapatku), baik semasa hidup atau matiku.” Demikian Imam Syafi’i menyatakan sikapnya.

Khilafiyah yang Tercela

Di samping khilafiyah dalam masalah furu’iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat berikutnya. Perbedaan pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum (perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat yang tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan dengan  pokok-pokok ajaran agama (biasa disebut tsawabit atau ma’lum minad diin bid dharurah atau atau qawathi’ud diin atau ushulud diin).

Paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Al Qur’an atau Hadits yang sahih.

Gugatan kepada pokok ajaran agama yang mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab ia menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat. Terkait dengan paham nyeleneh ini, menarik untuk menyimak perkataan Ali berikut. Imam Ali berkata, “Akan muncul pada akhir zaman sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya. Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi Allah.” (Riwayat al Harawi)

Pernyataan Imam Ali tidak berlebihan. Khalifah sebelumnya, Imam Umar bin Khattab, bahkan telah mengambil tindakan tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu. Sulaiman bin Yasar bertutur tentang seorang laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan terhadap Al Qur’an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh bertobat. (Riwayat ad Darimi)

Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela

Al Khilaf al Madzmum sangat berbeda dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam masalah furu’ tadi kita menyaksikan toleransi dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda pandangan; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru menunjukkan sikap tegas dan tanpa kompromi.

Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’in, bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, seorang ulama besar dari kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab Ibnu Umar, “Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, bila mereka bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat.” (HR. Muslim)

Ini adalah contoh sikap ulama sahabat, yang diperankan oleh Ibnu Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya berbicara tentang rukun iman, menambah atau mengurangi. Tidak jauh berbeda dengan itu adalah upaya mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan metode mantiq atau filsafat, atau lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi’i, yang tadi populer dengan toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, “Mazhabku terhadap pengikut ilmu kalam adalah dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir.”

Al khilaf al madzmum ini, dengan demikian, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran. Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri.

Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga kesucian Al Qur’an dan kesempurnaannyaserta kedudukan ijma’ (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber otentik ajaran Islam. Bila hal-hal yang mendasar seperti ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari ajaran Islam?

*) Disampaikan dalam acara Daurah Du’at Pemuda Persis di Ma’had Utsman ibn Affan Jakarta Timur pada hari Sabtu, 28 Desember 2013

Wednesday, January 17, 2018

PEDOMAN PENULISAN NASKAH


PEDOMAN PENULISAN NASKAH
NIZHAM JURNAL STUDI KEISLAMAN

FORMAT
Naskah diketik pada kertas A4 dengan ketentuan: panjang tulisan antara 15-18 halaman, diketik dengan spasi 2 (ganda) dengan font Book Antiqua ukuran 11. Naskah diserahkan dengan format program MS Word, file dan print out-nya. Naskah merupakan tulisan dalam bentuk essay dengan susunan judul, nama penulis, alamat penulis (termasuk nomor kontak dan email). Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris minimal 200 kata. Tulisan berisi pendahuluan, pembahasan, simpulan, referensi dan indeks dengan menggunakan catatan kaki (footnote). Catatan kaki (footnote) memuat nama penulis, tahun penerbitan dalam kurung, judul buku/majalah/jurnal,  kota tempat penerbitan,  nama penerbit dan halaman.
1.       Kutipan dari buku: Nama penulis, Judul (italic), (Tempat Terbit: Penerbit, Tahun Terbit), Jilid (jika berjilid)/halaman.
Contoh:
1.                Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 117-121.
2. Wahbah az-Zuhailî al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dâr al-Kutub, 2005), V/h. 23.
2.       Kutipan dari jurnal: Nama Penulis, Judul Artikel, Nama jurnal, (italic), (Tempat Terbit: Penerbit), Volume/edisi, halaman.
Contoh:
1.Humaedi, M. Alie, Kegagalan Akulturasi Budaya Dan Isu Agama Dalam Konflik Lampung, dalam Jurnal “Analisa” Volume 21 No. 02 Desember 2014, h. 12-13
3.       Kutipan dari makalah: Nama Penulis, Judul Makalah, Tahun, Halaman.
Contoh:
1.Ulil Abshar Abdalla, “Metode Pemahaman Islam Liberal”, Makalah dalam diskusi IIIT-Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2002. h. 4.
4.       Kutipan Artikel dari Surat Kabar: Nama Penulis, Judul tulisan, Nama Surat Kabar, Tanggal, halaman:
Contoh:
1. Dharma Setyawan, Eco-Campus Adalah Kewajiban, dalam Lampung Post, 30 Maret 2016, h. 4.
Apabila kutipan bukan berupa artikel, maka dengan menuliskan judul, nama web tanggal muat dan tanggal unduh.
Contoh:
1.“Kampus Hijau menjawab Tantangan Modernitas” www.lampungpost. com pada 29 Februari 2010 diakses pada 23 Maret 210.
5.       Kutipan dari Peraturan perundang-undangan: Undang-undang, Nomor undang-undang, tahun, tentang, pasal, ayat.
Contoh:
1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat 1.
6.       Kutipan Artikel dari Internet: Nama Penulis, Judul Artikel, laman (web), tanggal unduh.
Contoh:
1. Dharma Setyawan, Kampus dan Ekonomi Kreatif, dalam www.lamppost.co,diunduh pada 15 April 2016.
Apabila kutipan bukan berupa artikel, maka dengan menuliskan judul, nama web tanggal muat dan tanggal unduh.
Contoh:
1.“Kampus Hijau menjawab Tantangan Modernitas” www.lampungpost. com pada 29 Februari 2010 diakses pada 23 Maret 210.
7.       Kutipan ayat al-Quran: Nama Surat dan ayat.
Contoh:
1. Surat al-Baqarah ayat 167.
8.       Pengutipan terhadap sumber yang sama dan halaman yang sama dengan kutipan sebelumnya menggunakan Ibid. Bila berbeda halaman, maka dengan menggunakan ibid. h. (tulis nomor halaman yang dikutip).
Contoh:
1. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 117-121.
2.Ibid.
3. Ibid., h. 134.
9.       Penunjukan berikutnya atas sumber yang sama, namun diselingi foot note lain, maka ditulis nama penulis dan dua kata dari judul tulisan, titik-tiga-komadan keterangan halaman.
Contoh:
1. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 117-121.
2.Muhammad Abed Al-Jabiri, Syuro, Tradisi, Partikularitas, Universalitas (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet I, h. 18.
3.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan..., h. 134.
JUDUL
Selain memuat judul artikel, halaman judul memuat nama penulis, nama dan alamat institusi penulis, dan catatan kaki yang memuat alamat penulis, nomor kontak dan email.

ABSTRAK
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris berjumlah antara 200-250 kata. Abstrak memuat ringkasan pokok bahasan secara komprehensif dengan menghindari penggunaan singkatan. Naskah memiliki 3-4 kata sebagai kunci (keywords).

PENDAHULUAN
Bagian ini harus memuat dasar pemikiran dari bahasan yang ditulis sehingga pembaca dapat memahami arah dari tulisan, kajian atau penelitian yang dimuat. Dasar pemikiran memuat alasan, signifikansi, dan tujuan artikel dimaksud dengan referensi yang relevan.

PEMBAHASAN
Bagian ini harus memuat dasar pemikiran dari bahasan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan sesuai dengan masalah dan tujuan yang hendak dicapai dari kajian yang dilakukan. Bagian ini merupakan bagian analisis sekaligus pembahasan.

PENULISAN SUB-JUDUL:
Penulisan nomor bab setiap sub bab ditulis dengan A, B, C, D dst.; Penulisan sub-sub bab menggunakan angka 1, 2, 3, 4, dst, dan jika ada pemecahan maka digunakan huruf abjad kecil (a, b, c, dan seterusnya);

SIMPULAN
Bagian ini memuat simpulan dari pembahasan yang telah dilakukan dan bukan merupakan rangkuman tulisan.

REFERENSI
Referensi ditulis secara alfabetis dengan urutan nama pengarang (dibalik), judul buku, tempat terbit, nama penerbit dan tahun terbit. Contoh: Chodjim, Achmad, Syekh Siti Jenar:  Makna Kematian, Jakarta: Serambi, 2002.

PENGIRIMAN
Artikel dapat dikirim via E-mail pascasarjanaiainmetro@gmail.com atau diantar langsung ke redaksi dengan alamat: Kantor Pascasarjana STAIN JURAI SIWO METRO Jl. Ki Hajar Dewantoro 15 A. Iring Mulyo, Kota Metro, Propinsi Lampung, 34111, Phone: +62-0725-41 507 Fax: +62-0725-47296


Mabit

Mabit adalah kependekan dari malam bina iman dan taqwa.

dalam konsep definisi ini, maka mabit bertujuan untuk membina keimanan dan ketaqwaan para peserta mabit itu sendiri.

maka dalam prosesnya, kegiatan mabit ini selalu disi dengan kegiatan kerohanian islam seperti tadarus al-quran, kultum ataupu tausiyah dan ceramah agama, serta qiyamul lail atau shalat tahajud, dimana semua hal itu dilakukan untun mencapai tujuan pada acara mabit itu sendiri yaitu menciptakan generasi yang beriman dan bertaqwa.

Kegiatan mabit ini biasanya dilakukan oleh sekolah-sekolah non pondok dan ingin menciptakan generasi yang beiman dan bertaqwa sebagaimana tujuan pendidikan republik indonesia adalah agar menciptakan pribadi-pribadi yang beriman dan bertaqwa.

pada umumnya kegiatan mabit ini lebih populer pada sekolah sekolah yang memiliki kegiatan ekskul ROHIS, ataupun pada tpa-tpq yang menambahkan kegiatan mabit pada hari-hai libur.

dibawah ini akan kami bagikan link tentang gambaran mabit di ponpes daul anwa sidomulyo

Lingknya sebagai beikut :   https://youtu.be/tYrq6nDEFKg

https://www.youtube.com/watch?v=tYrq6nDEFKg&feature=youtu.be